Ali Bin Abi Thalib
- PERISTIWA TAHKIM
Ali mengutus Abu Musa al-Asy’ari sebagi wakil dalam perundingan, sementara Mu’awiyah mengutus Amr bin Ash. Kedua juru runding itu sepakat untuk menurunkan Ali dan Mu’awiyah dari jabatannya masing-masing, lalu urusan kekhalifahan diserahkan pada musyawarah kaum muslimin, agar mereka menyepakati mana yang lebih baik di antara dua orang itu, atau mengambil pemimpin baru dari selain mereka. Keputusan diserahkan kepada shahabat inti. Inilah yang sesungguhnya terjadi pada peristiwa Tahkim, bukan seperti yang dituduhkan oleh sebagian orang yang menyatakan bahwa Amr menipu Abu Usama, lalu menetapkan Mu’awiyah sebagai khalifah.
Setelah peristiwa itu, kaum muslimin pun terpecah menjadi tiga kelompok. Penduduk Irak tetap pada bai’at mereka terhadap Ali, sementara penduduk Syam membai’at Mu’awiyah, sedangkan kelompok ketiga merupakan kelompok Ali yang membelot karena tidak setuju atas sikap Ali yang menyetujui tahkim. Mereka lalu dinamakan Khawarij karena sikap mereka itu. Mereka berlebihan dalam menyalahkan Ali hingga mengkafirkannya. Mereka melakukan berbagai kerusakan, hingga akhirnya Ali disibukkan oleh upaya memerangi mereka.
- SIKAP KHALIFAH ALI TERHADAP KAUM KHAWARIJ
Kaum Khawarij menjadikan sebuah desa di dekat Kufah bernama Hurura’ sebagai basis pertahanan, sehinga mereka pun dikenal dengan sebutan Al-Haruriyah. Jumlah mereka lebih dari delapan ribu orang. Abdullah bin Abbas pernah mendatangi mereka untuk berdebat dengan mereka dan mengajak mereka kembali, sehingga 4000 di antaranya bertaubat dan kembali bergabung dengan Ali di Kufah, sedangkan sisanya tetap pada pendirian dan kesesatan mereka. Lalu mereka keluar dari Kufah secara sendiri-sendiri agar tidak dicurigai oleh kaum muslimin. Kemudian mereka berkumpul di Nahrawan, sebuah wilayah yang cukup luas di antara Baghdad dan Wasith. Seiring waktu kelompok ini membangun kekuatan dan pertahanan mereka.
Mereka lalu bersiap-siap untuk berperang bahkan telah bergerak untuk menyerang. Ali pun menghadapi mereka dengan pasukannya dan memerintahkan Abu Ayyub Al-Anshari untuk mengibarkan panji jaminan keamanan untuk kelompok Khawarij dan menyerukan pada mereka, “Siapa yang datang ke bendera ini akan dijamin keamanannya. Kami tidak punya urusan dengan kalian kecuali dengan mereka yang telah membunuh saudara-saudara kami.” Maka sebagian besar mereka memisahkan diri dari pasukan Khawarij yang sebelumnya berjumlah 4000 orang, dan hanya tersisa 1000 orang atau lebih sedikit dari itu di bawah komando Abdullah bin Wahab Ar-Rasi.
Kedua pasukan pun bertempur. Dengan mudah pasukan Ali dapat mengalahkan mereka dan membunuh para pemimpin mereka seperti Abdullah bin Wahab, Hurqus bin Zuhair, dan Syuraih bin Aufa. Yang selamat dari kelompok mereka kurang dari sepuluh orang, sementara yang terbunuh dari pasukan Ali hanya sekitar sepuluh orang. Peristiwa itu terjadi pada bulan Sya’ban tahun 38 H.
- SYAHIDNYA KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
Ibnu Muljam yang diberi tugas oleh kelompok khawarij berhasil menebas Ali bin Abi Thalib pada bagian dahinya ketika beliau hendak menjalankan sholat subuh di bulan Ramadhan. Kemudian beliau terdiam dan mengucapkan Laa Ilaaha Illalloh… Dengan tenang beliau menghadap dan kembali kepada kekasihnya Alloh ﷻ pada tanggal 17 ramadhan tahun 40 Hijriah setelah memimpin khilafah islamiyah selama 4 tahun 9 bulan dalam keadaan serba sulit dan Alloh telah meridhoinya.
- PELAJARAN DARI KEKHALIFAHAN ALI BIN ABI THALIB
Saat Ali bin Abi Tholib menjadi khalifah, peristiwa-peristiwa sulit beliau lalui. Umat Islam saling bunuh antara satu dengan yang lainnya. Itu semua semata-mata kerupakan perbedaan ijtihad antara dua pihak dan hanya Allah ﷻ yang berhak untuk menghakimi mereka. Peristiwa-peristiwa itu tidak akan menambah dan mengurangi kesempurnaan syariat Islam yang ada. Syariat Allah ﷻ telah sempurna sejak sebelum terjadinya peristiwa itu semua.
Akhirnya untuk menghakimi semua itu kita serahkan kepada Allah ﷻ. Yang penting bagi kita adalah mengambil pelajaran dari semua peristiwa itu, dengan tetap menempatkan derajat shahabat Rasulullah Shalallahi alaihi wa ssalam sesuai pada tempatnya yang layak, karena mereka adalah pribadi-pribadi mulia yang telah mengorbankan seluruh hidupnya untuk Islam. Apalagi di antara mereka ada pribadi-pribadi yang telah Allah jamin masuk surga.
Sedangkan kesalahan yang memang terjadi dari para shahabat, kita harus dan melihatnya dalam kerangka ijtihad, apabila benar mendapat dua pahala, dan apabila salah mendapatkan satu pahala. Setiap mujtahid telah melihat apa yang dilakukannya sebagai tindakan yang terbaik demi kepentingan umat.
Oleh karena itu mungkin Muawiyah memandang atau melihat besarnya fitnah yang akan ditimbulkan oleh perbuatan ini, dalam bentuk terjadinya fitnah dan terpecahnya persatuan muslimin serta terulangnya perstiwa Shiffin untuk yang kedua kalinya. Dan mungkin Muawiyah menyadari bahwa Ali bin Abi Thalib memiliki udzur atas sikapnya yang lebih besar dari sikap dirinya sendiri.
Adapun sikap yang diambil Khalifah Ali bin Abi Thalib adalah semata-mata merupakan ijtihadnya. Dan memang dialah yang lebih dekat kepada kebenaran dibanding orang-orang yang memeranginya. Hal ini bisa dipahami dari sabda Rasulullah Shalallahi alaihi wa ssalam “Akan keluar sebuah kelompok dari satu golongan kaum muslimin yang akan dibunuh oleh golongan yang paling dekat dengan kebenaran”.
Oleh sebab itu kita harus mampu membedakan antara maksiat yang dilakukan dengan sengaja dengan ijtihad-ijtihad yang memang para shahabat boleh berijtihad padanya dengan alasan masing-masing berdasarkan hujjah dan dalil yang mereka miliki, sehingga kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan-kesalahan yang sangat fatal, pun tidak terjatuh kepada tindakan-tindakan dan pencelaan terhadap harga diri para shahabat yang Allah sendiri telah memberikan tazkiyah (pujian) kepada mereka dan hanya kepada Allah-lah kita memohon petunjuk dan perlindungan dari segala kesalahan baik yang kita sengaja maupun tidak. Selesai
Ikut Partisipasi Mendukung Program, Salurkan Donasi Anda di Sini!