KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB BAG. 1

Facebook
Twitter
Telegram

Ali Bin Abi Thalib

  • PEMBAI’ATAN ALI SEBAGAI KHALIFAH

Pada awalnya, saat diminta untuk menjadi khalifah, Ali merasa ragu untuk menerimanya. Mengingat baru terjadi peristiwa mengerikan yang dilakukan oleh para pemberontak yang membunuh khalifah Utsman dengan cara biadab dan semena-mena. Mereka kemudian menguasai keadaan di Madinah sementara tangan mereka belum lagi kering dari darah Khalifah yang syahid, Utsman bin Affan. Ali berfikir keras dan berusaha untuk menimbang-nimbang, sementara waktu terus berjalan dan terjadi kekosongan pada posisi khalifah yang dapat berakibat fatal bagi kelangsungan Islam, baik negara maupun masyarakatnya. Maka setelah didesak oleh para sahabat Nabi, beliau pun memutuskan untuk menerima kekhalifahan yang penuh dengan pertumpahan darah dan kejadian berat, tidak ada yang sanggup memikulnya kecuali orang yang seperti dirinya.

Terjadilah pembai’atan Ali Radiyallahu‘Anhu secara umum dari kaum Muhajirin dan Anshar serta seluruh yang hadir. Hal itu terjadi pada hari Sabtu tanggal 19 Zulhijjah tahun 35 Hijriah, satu hari setelah syahidnya Utsman.

Lalu Ali segera mengirim surat kepada seluruh wilayah memberitahukan tentang pembai’atan atas dirinya. Mereka pun menerima keputusan Ali kecuali Muawiyah bin Abi Sufyan bersama penduduk Syam, walaupun secara pribadi ia mengakui keutamaan dan kedudukan Ali. Muawiyah memandang bahwa pembai’atan Ali berlangsung di bawah tekanan para pemberontak yang sekaligus pembunuh Utsman bin Affan. Hal di karenakan jauhnya jarak antara Madinah dan Syam. Selain itu juga banyaknya kesimpangsiuran berita yang sampai kepadanya.

  • KEBIJAKAN ALI DALAM KEKHALIFAHANNYA

Ali memerintahkan para gubernurnya untuk berlaku baik terhadap rakyat. Amirul mukminin sangat mengerti bahwa keadilan merupakan sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, sehingga memutuskan perkara di antara manusia dengan adil. Semua orang mendapat hak yang sama, tidak ada keberpihakan terhadap yang kuat dan tidak ada hak orang lemah yang diabaikan.

Tanggungjawab yang banyak tidak membuat khalifah mengabaikan urusan rakyat dan menelantarkan mereka. Khalifah tetap memantau kondisi rakyatnya dan berupaya menyelesaikan persoalan mereka. Khalifah biasa berjalan di pasar sendirian untuk meluruskan orang yang bertindak salah, menolong kaum yang lemah, juga selalu melakukan amar makruf nahi munkar, mengecam tindakan penipuan.

  • PERMULAAN FITNAH

Mu’awiyah dan beberapa orang shahabat seperti Abu Umamah dan Amr bin Abasah menggerakkan massa untuk menuntut bela atas kematian Utsman dan agar para pembunuhnya segera dibunuh.

Baru saja bai’at terhadap Ali selesai dilakukan, datang Thalhah, Zubair, dan beberapa pemuka shahabat menuntut penegakan hukum atas kematian Utsman dengan menghukum para pembunuh sebelum urusan mereka menjadi genting dan bahaya yang mereka timbulkan semakin besar.

Ali sendiri sangat memahami hal tersebut, namun dia memilih menangguhkan persoalan itu hingga situasi kembali tenang dan kewibawaan negara kembali menguat, serta menunggu kekuatan para pemberontak melemah dan mereka kembali ke kabilah-kabilah masing-masing. Pada saat itulah akan dilakukan pengusutan. Ali melihat bahwa saat itu para pemberontak masih sangat kuat, memiliki banyak materi dan pendukung.

  • PERANG JAMAL (36 H/656 M)

Perang ini melibatkan dua kubu dari kalangan para sahabat. Kubu Ali bin Abi Thalib dan kubu Thalhah, Zubair dan Aisyah rodhiyallohu anhum. Perang ini terjadi pada saat Thalhah, Zubair dan Aisyah rodhiyallohu anhum bersama pengikutnya yang banyak menuju Bashroh, dengan niat menyatukan kembali hati kaum muslimin dan menenangkan situasi yang goncang serta keinginan mendamaikan yang berselisih setelah diangkatnya Ali bin Abi Tholib menjadi khalifah. Namun kaum munafikin di bawah komando Abdulloh bin saba menyebarkan isu kepada gubernur Bashroh yang diangkat oleh Ali bin Abi Thalib, bahwa Aisyah dan pasukannya ingin memerangi mereka. Sehingga perang pun meletus.

Mendengar berita peperangan tersebut Ali bin Abi Thaib berangkat dari Madinah untuk mendamaikan pertumpahan darah yang sangat dibencinya tersebut. Akhirnya terjadilah dialog dan beberapa kesepakatan serta saling memahami antar kedua kubu.

Orang-orang munafik kemudian membagi dua kelompok, untuk memerangi kubu Ali bin Abi Tholib dan kubu Aisyah. Sehingga baik pasukan Aisyah maupun pasukan Ali, masing-masingnya mengira telah terjadi pengkhianatan terhadap kesepakatan yang telah dibuat. Maka terjadilah perang yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh kedua kubu tersebut.

Kedua belah pihak, baik Ali maupun Aisyah, berusaha menghentikan pertempuran ini, akan tetapi kaum munafik menyusup di tengah-tengah barisan untuk terus mengobarkan api peperangan.

Ketika kedua kubu melihat Onta yang dinaiki Aisyah terjatuh, maka mereka langsung tersadar dan secara reflek menghentikan peperangan.

Setelah pertempuran berhenti, saat Ummul mukminin ingin kembali ke Makkah, khalifah Ali bin Abi Tholib pun menyediakan segala keperluan Aisyah, baik perbekalan, barang-barang, dana dan pengawalannya. Ali sendiri yang melepas keberangkatan Ummul Mukminin sampai batas Madinah dan memerintahkan anak-anaknya untuk mengawalnya sampai tujuan.

  • PERANG SHIFFIN

Kemudian terjadi perang Shiffin antara tentara Syam di bawah komando Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan tentara Irak di bawah komando Ali bin Abi Thalib. Penyebabnya adalah Mu’awiyah menolak berbai’at kepada Amirul mukminin Ali Radhiallohu ‘anhu sampai Ali mau membunuh para pembunuh Utsman. Sementara Ali memiliki alasan untuk tidak tergesa-gesa dalam menghukum mereka, karena mereka telah menetap di Irak dilindungi oleh kekuatan mereka dan dukungan kabilah mereka, serta banyaknya pendukung dan materi yang mereka miliki.

Bertemulah dua pasukan dan mereka berkemah lama di Shiffin pada permulaan Dzulhijjah. Ali dan Mu’awiyah saling bertukar utusan. Semua orang menahan diri untuk berperang hingga lewat bulan Muharram tahun 37 H. setelah itu, Ali pun menyiagakan pasukannya, begitu juga Mu’awiyah. Mereka mengawali perang pada hari pertama Shafar. Mereka berada di Shiffin selama 110 hari, dalam jangka waktu tersebut terjadi sembilan kali pertempuran. Perang berhenti ketika pasukan Syam mengangkat mushaf di atas tombak dan menyeru pasukan Irak, “Kami mengajak kalian untuk berhukum dengan kitabullah.” Maka terjadilah peristiwa Tahkim.

KHALIFAH ALI BIN BIN THALIB BAG.1

Ikut Partisipasi Mendukung Program, Salurkan Donasi Anda di Sini!

www.hasmicendekia.org

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *